Sabtu, 05 Mei 2012

Haruskah Ujian Nasional (UN) Dihapuskan?


oleh : Dias Prakatindih
Ujian Nasional (UN) bukanlah kata yang asing lagi dalam indera pendengaran kita. Ujian Nasional diadakan oleh pemerintah sebagai suatu wadah untuk meningkatkan mutu pendidikan, melakukan pemetaan, memperbaiki kinerja proses pembelajaran, serta meningkatkan persaingan antarsekolah. Standar kelulusan yang semakin meningkat setiap tahunnya diharapkan dapat memberikan motivasi agar para guru lebih meningkatkan kinerja mereka dan para siswa lebih termotivasi dalam belajar. Pada dasarnya, ujian nasional penting untuk diadakan, namun ada yang keliru dari cara serta standar yang digunakan untuk menilai keberhasilan seseorang. Dalam ujian nasional, keberhasilan seseorang hanya dilihat dari angka-angka dimana angka tersebut harus melewati standar yang telah ditetapkan. Cobalah anda telaah kembali, dapatkah keberhasilan seseorang diukur hanya dalam bentuk angka-angka?
Selain itu ternyata UN memberikan dampak psikologis tersendiri bagi para siswa. Dengan adanya UN mereka cenderung untuk belajar dibawah tekanan. Mereka tidak lagi menikmati indahnya proses belajar. Mereka menjadi terpaksa untuk mempelajari hal yang tidak mereka suka. Padahal proses pembelajaran yang seperti itu dapat membuat seseorang lebih sulit untuk memahami suatu pelajaran. Selain itu, ada pula yang menjadikan UN sebagai penentu kehidupan. Mengapa demikian? Karena ada beberapa orang yang memilih untuk mengakhiri hidupnya jika tidak lulus UN. Standar kelulusan yang semakin tinggi juga membuat semua pihak yang terkait semakin tertekan. Baik siswa, guru maupun orang tua menjadi sangat khawatir dengan dilaksanakannya UN. Selain dirasakan oleh para siswa, institusi-institusi pendidikan juga merasakan tekanan tersendiri, sekolah misalnya akan melakukan segala daya dan upaya untuk menyelamatkan nama baiknya. Karena masyarakat sendiri memiliki ukuran tertentu untuk menentukan sekolah itu bagus atau tidak. Sekolah dianggap bagus jika tingkat kelulusannya tinggi. Sehingga, semakin rendah tingkat kelulusan sebuah sekolah, berarti semakin turun kualitasnya di mata masyarakat. Menilik dari berbagai uraian diatas, sebenarnya ujian nasional memiliki sisi positif dan sisi negative. Namun, kemungkinan sisi negativenya lebih banyak dirasakan daripada sisi positifnya.
Setiap tahunnya keberadaan UN selalu memberikan kontroversial. Pemerintah dan juga BNSP (Badan Nasional Standar Pendidikan) sebagai penyelenggara sama sekali tidak menggubris protes dari berbagai kalangan mengenai kebijakan dalam ujian nasional. Mereka seolah tuli dan acuh terhadap kebijakan tersebut. Mereka justru kelihatan sangat bersemangat terhadap pelaksanaan UN ini meskipun sudah banyak korban yang berjatuhan. Bukti yang menunjukkan bahwa pemerintah semakin bersemangat dalam menjalankan UN yaitu ketika Mendiknas mengeluarkan Permendiknas No. 34 tahun 2007 tentang Pelaksanaan UN 2008. Berbeda dengan tahun sebelumnya yang hanya menguji tiga mata pelajaran, sekarang pemerintah menambah tiga lagi mata pelajaran yang diujikan pada Ujian Nasional 2008. Tidak hanya itu, angka rata-rata kelulusan minimal tahun inipun meningkat dari tahun sebelumnya. Seperti tertera dalam Pasal 15 Permendiknas No.34/2007, tahun ini untuk bisa lulus UN seorang siswa harus memiliki nilai rata-rata minimal 5,25 dengan tidak ada satupun nilai mata ujian dibawah 4,25. Padahal Usaha pemerintah untuk tetap melaksanakan UN sebagai standar kelulusan secara tidak langsung melanggar prinsip-prinsip pendidikan, menyimpang dari amanat undang-undang yakni UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas).
 Dalam Pasal 58 ayat 1 berbunyi “evaluasi hasil belajar peserta didik dilakukan oleh pendidik untuk memantau proses, kemajuan, dan perbaikan hasil belajar peserta didik secara berkesinambungan“. Cukup jelas bahwa yang berwenang melakukan evaluasi hasil pendidikan adalah pendidik. Pendidik lah yang secara keseluruhan dan secara berkesinambungan mengetahui proses belajar – mengajar.
UN juga memberikan dampak negative lainnya pada aspek-aspek tertentu yaitu :
  • Aspek Pendidikan

Dalam dunia pendidikan ternyata adanya UN ini memberikan pengaruh besar pada kinerja para guru. Para guru memang lebih terpacu dalam memberikan bahan ajar. Namun, pada kenyataannya bahan ajar yang akan diajarkan oleh para guru cenderung lebih mengajarkan siswa untuk langsung berhadapan dengan soal. Para guru tidak lagi mengacu pada kurikulum yang seharusnya diajarkan. Mereka lebih melatih para siswa agar dapat mengenali tipe-tipe soal yang dikeluarkan saat ujian nasional serta bagaimana caranya agar siwa dapat menjawab soal-soal tersebut dalam waktu yang singkat. Akibatnya para guru hanya mengajarkan hal-hal yang terkait dalam kompetensi SKL (Standar Kelulusan) dan melupakan kompetensi-kompetensi lain yang tidak dikeluarkan dalam UN. Padahal, kompetensi-kompetensi lainnya itu kemungkinan diperlukan oleh para siswa dalam menjalankan kehidupan sehari-hari setelah keluar dari ruang ujian nasional.
Dampak yang lebih jauh lagi adalah UN dapat mempersempit kurikulum sekolah dan menonjolkan mata pelajaran tertentu saja, karena selama ini UN hanya mengujikan mata pelajaran tertentu. Meskipun sudah ada penambahan mata pelajaran pada ujian nasional tetapi tetap tidak menutupi adanya mata pelajaran yang terdiskriminasi akibat adanya UN ini. Pada akhirnya guru yang mengajarkan mata pelajaran yang tidak diujikan cenderung kehilangan motivasi dalam proses kegiatan belajar mengajar. Pandangan seperti ini harus segera dirubah, karena pada proses nya nanti dalam kehidupan, untuk menjadi seseorang yang sukses tidak hanya orang yang memiliki nilai UN yang tinggi. Tetapi orang dengan multi skills-lah yang dapat sukses. Ada banyak cerita dari orang-orang yang sukses dalam bidang olahraga dan seni tetapi pada kenyataannya mereka tidak mendapatkan nilai matematika yang bagus. Jika demikian, mengapa UN tidak menambahkan pelajaran olahraga dan kesenian sebagai mata pelajaran UN?
  • Aspek Psikologis

Seperti yang sedikit telah diutarakan diatas, adanya UN membuat para guru, siswa dan orang tua menjadi harap-harap cemas (baca: merasa tertekan). Belum lagi para guru, siswa dan orang tua yang tinggal di pelosok-pelosok yang kesulitan dalam mengakses media pembelajaran jauh lebih merasa tertekan dibandingkan yang tinggal diperkotaan. Hal itu terjadi karena sistem UN yang dijalankan mengharuskan semua siswa untuk lulus dengan standar yang sama padahal pemerataan pendidikan belum tercapai. Akibat terburuk dari tingkat kecemasan yang semakin tinggi ini membuat para siswa mengambil jalur licik (baca: melakukan tindak kecurangan) agar mereka dapat lulus walaupun dengan standar terendah sekalipun. Hasilnya UN ini juga memberikan pengaruh moral yang buruk bagi generasi anak bangsa. Selain itu pengaruh moral yang buruk ini juga dapat nencoreng mutu pendidikan bangsa Indonesia yang sudah muram.

Melihat dampak yang begitu besar dari UN, sudah pernah dilakukan usaha protes sampai pada Mahkamah Agung. Hasilnya Mahkamah Agung (MA) melarang pemerintah melaksanakan Ujian Nasional (UN). MA menolak kasasi gugatan Ujian Nasional (UN) yang diajukan pemerintah. Dengan putusan ini, maka UN dinilai cacat hukum dan pemerintah dilarang menyelenggarakan UN. Berdasarkan informasi perkara di situs resmi MA, perkara gugatan warga negara (citizen lawsuit) yang diajukan Kristiono dkk tersebut diputuskan pada 14 September 2009 oleh majelis hakim yang terdiri atas Mansur Kartayasa, Imam Harjadi, dan Abbas Said. Isinya sebagai berikut
Mahkamah Agung menolak permohonan pemerintah terkait perkara ujian nasional, dalam perkara Nomor : 2596 K/Pdt/2008 dengan para pihak Negara RI cq Presiden RI, Susilo Bambang Yudhoyono; Negara RI cq Wakil Kepala Negara, Wakil Presiden RI, M. Jusuf Kalla; Negara RI cq Presiden RI cq Menteri Pendidikan Nasional, Bambang Sudibyo; Negara RI cq Presiden RI cq Menteri Pendidikan Nasional cq Ketua Badan Standar Nasional Pendidikan, Bambang Soehendro melawan Kristiono, dkk (selaku para termohon Kasasi dahulu para Penggugat/para Terbanding).
Ini berarti putusan perkara dengan Nomor Register 2596 K/PDT/2008 itu sekaligus menguatkan putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta pada 6 Desember 2007 yang juga menolak permohonan pemerintah. Namun, pada saat itu pemerintah masih melaksanakan UN pada tahun 2008 dan 2009. Ini berarti pelaksanaan UN 2008, 2009 yang ‘memaksa’ kelulusan siswa ditentukan beberapa hari merupakan tindakan melanggar hukum. Dalam hal ini, Pemerintah dinyatakan lalai memberikan pemenuhan hak asasi manusia (HAM) terhadap warga negara, khususnya hak atas pendidikan dan hak anak yang menjadi korban UN. Sayangnya, pemerintah masih menemukan jalan lain agar UN tetap dijalankan yaitu dengan melakukan PK (Peninjauan Kembali) atas gugatan yang telah dikeluarkan MA mengenai dilarangnya pelaksanaan UN.

Berdasarkan fakta yang telah diutarakan diatas ternyata, adanya UN di Indonesia lebih banyak memberikan dampak negative daripada dampak positifnya. Selain itu, pelaksanaan UN yang setiap tahunnya diadakan ternyata tidak memberikan kemajuan yang signifikan terhadap pendidikan Indonesia. Padahal, tujuan dari UN sendiri adalah untuk meningkatkan mutu pendidikan, melakukan pemetaan, memperbaiki kinerja proses pembelajaran, serta meningkatkan persaingan antarsekolah. Sudahkah beberapa tujuan itu terealisasikan dan memberikan pengaruh yang besar bagi kemajuan pendidikan di Indonesia?
Dari uraian-uraian singkat mengenai UN diatas, seharusnya UN tidak dilaksanakan lagi di Indonesia. Seharusnya UN dihapus dari peraturan pemerintah dan diganti dengan wadah baru yang jauh lebih baik daripada UN saat ini. Wadah baru yang lebih banyak memberikan dampak positif daripada dampak negatifnya, serta wadah baru yang lebih memiliki kebijakan-kebijakan yang rasional dan pada proses pelaksanaannya tidak hanya memberikan keuntungan bagi pihak-pihak tertentu saja. Dan diharapkan wadah baru tersebut dapat memajukan pendidikan di Indonesia dan mampu merealisasikan tujuan-tujuan yang tidak dapat diwujudkan dari pelaksanaan UN saat ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar